Pengaruh Kesusasteraan Asing dalam Kesusastraan
Indonesia
Ketika kita membicarakan pengaruh
kesusastraan asing dalam kesusasteraan Indonesia, kita harus melihat vista
sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Sebagai langkah awal, kita
dapat melayangkan pandangan jauh ke belakang, ke masa Hamzah Fansuri mula
bersyair dan bernazam atau ke zaman Nuruddin Ar-Raniry ketika melahirkan Bustanul
Sallatin (Taman Raja-Raja) dan ketika Raja Ali Haji melahirkan Bustanul
Katibin (Taman Para Penulis). Hasil kesusastraan di zaman itu
lebih sering disebut oleh sarjana sastra Indonesia-Melayu sebagai bagian dari
sastra lama Indonesia dan dilanjutkan dengan sastra baru (modern) Indonesia
yang dimulai sejak munculnya percetakan di Hindia Belanda dan diramaikan oleh
kelompok Pujangga Baru. Meskipun demikian, patut diketahui bahwa sastra baru
Indonesia pun sudah dipelopori oleh penulis Tionghoa peranakan yang mula
pertama memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern.
Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama
itu sudah dimulai sejak abad ke-16 pada zaman Hamzah Fansuri, Nuruddin
Ar-Raniry, dan Syamsuddin Al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa yang
banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh
sebelum Islam masuk pun sudah memiliki karya sastra kakawin yang
mendapat pengaruh dari India. Kesusastraan asing yang paling berpengaruh dalam
kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia).
Jejaknya itu dapat kita baca pada naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab
Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh wilayah Nusantara. Karya
sastra dari Arab dan Parsi itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
serta meninggalkan bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam,
masnawi, dan barzanzi dalam khazanah sastra Indonesia lama.
Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan
di Indonesia, pengarang Indonesia modern, yang dimulai oleh penulis Cina
Peranakan, masih menulis syair dan pantun dalam karya cetak. Pada tahun
1912, misalnya, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita
Warna Sari yang terbit di Surabaya. Cerita pendek yang dimuat itu
berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu
rendah (Sastri, 2012).
Pada masa Angkatan Pujangga Baru
perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra Eropa,
khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku pelajaran di
sekolah maupun melalui karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra asing,
seperti Arab dan Parsi, diperoleh melalui hubungan perdagangan, karya
sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hindia- Belanda.
Pada zaman Jepang, pengaruh
kesusastraan asing, seperti Jepang, tidak terlalu banyak berarti dalam
kesusastraan Indonesia. Hal itu disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang
dan tidak adanya upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa
Indonesia pada saat itu. Penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa
Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’ruf menerjemahkan novel Yukiguni
karya Yasunari Kawabata ke dalam versi Indonesia dengan judul Negeri Salju
(Pustaka Jaya, 1972).
Sesudah kemerdekaan, sekitar tahun
1960-an, pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih
disebabkan pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Soviet. Hal itu dapat
kita temukan pada karya para penulis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang
banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar