Musik dan Manusia
Musik Dan Peradaban Manusia
Musik telah menjadi bagian dari
kehidupan manusia baik dalam aktifitas sakral maupun profan, ia
memiliki daya magis yang mampu menghipnotis, oleh karenanya musik memiliki
peran yang sangat penting sepanjang sejarah manusia. Sebagai produk
kebudayaan, musik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena musik adalah
presentasi gagasan manusia sebagai individu maupun masyarakat. Ia adalah
ungkapan rasa, ekspresi dan indikator eksistensi manusia. Musik diciptakan
bukan hanya untuk dinikmati keindahannya saja, melainkan juga dijadikan
sarana mengungkapkan rasa kekaguman manusia pada Sang Pencipta Alam, Yang
Maha Tinggi. Ia menjadi ibadah, ritual keagamaan dalam konteks kepercayaan
masa lalu. Dalam peribadatan kuno, musik sangat urgen, ia jembatan yang mampu
mengerakkan manusia yang lainnya menjadi satu-rasa, oleh karenanya dikatakan
mampu membangun daya magis. Hal itu dapat kita rasakan bahkan hingga masa
sekarang, puji-pujian, doa-doa diucapkan dengan merdu bukan semata-mata untuk
keindahan saja, melainkan membangun kekhusyukan ibadah. Telah banyak kita
lihat di berbagai umat beragama dalam peribadatannya, di dalamnya kita
temukan banyak unsur musik, murrậtal, azan, qira’at, pembacaan mantera, hymne
dan Sebagainya.
Musik semakin terus berkembang
layaknya kehidupan manusia, tidak hanya di tataran ritual sakral, musik
menjadi dirinya sendiri dalam tataran disiplin ilmu dan kesenian dan menjadi
pembahasan khusus sejak era Pythagoras. Sebagai karya, manifestasi
perasaan manusia terhadap apa yang dihadapi dalam kehidupannya. Pada wilayah
kesenian serius (terdapat dua kategori idealisme dalam kesenian) bahwa
karya seni, termasuk musik, adalah kritik bagi kehidupan, ia juga potret dari
kehidupan, ada yang bersifat temporal, terikat oleh waktu dan tempat tertentu
saja seperti halnya musik pop, ada juga yang abadi sebagaimana tercermin
dalam kesenian tradisional bangsa-bangsa di dunia, di dalamnya tersimpan nilai-nilai
estetika dan etika yang selanjutnya kita kenal dengan istilah local wisdom
atau “kearifan lokal” yang universal dan menjadi dasar atas gagasan serta
perilaku suatu bangsa. Ia mampu merasuki jiwa dan membangkitkan perasaan
hingga mempersatukan bangsa-bangsa, ia memiliki sifat universal, bahasa musik
adalah bahasa yang bisa dimengerti oleh semua suku bangsa, ia juga mampu
menjembatani manusia secara lahir dan batin, dari segi ekonomi dan mata
pencaharian ia juga produk peradaban yang bisa diperjualbelikan dalam rangka
mensejahterakan manusia melalui jalan industri seperti pada masa sekarang.
Tetapi ia juga mampu menjadi perusak, yaitu ketika musik semata-mata
hanya menjadi barang komoditi yang kurang berisi, ketika orang tidak lagi
memasukkan nilai kitik, seruan dan semangat perbaikan, hanya untuk mendulang
uang, maka ia akan menjadi senjata yang membunuh manusia karena semakin
terjauhkan dari nuraninya, dari nilai-nilai, beralih pada pencapaian materi
semata.
Musik adalah obyek, ia bisa
dijadikan apa saja tergantung bagaimana manusia memperlakukannya. Sebagaimana
karya-karya seni lainnya, juga produk-produk kebudayaan lainnya, tidak hanya
seni. Bahwa seringkali manusia menjalankan hidupnya terfokus pada satu
cita-cita saja, kekayaan materi saja, meninggalkan hati-nuraninya dengan pola
pikir dan perilaku yang luhur, sarat dengan nilai-nilai keberbudayaan maupun
beragama, dan bukan hanya dalam pembicaraan saja, dalam gagasan saja.
Nilai-nilai itu harus diejawantahkan oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk
para pemimpin masyarakat.
Dahulu kala, para pemimpin
masyarakat memiliki budi yang luhur dan mulia sehingga masyarakat memberinya
gelar, orang Mesir, Yunani, Cina, menganugerahi mereka gelar Dewa, di
Nusantara dengan Sanghyang, Batara, Ratu, dan sebagainya. Mereka percaya
bahwa para pemimpin itu adalah utusan Tuhan, perilaku dan perkataannya adalah
kalimat Tuhan. Ratu adalah hukum. Oleh karenanya, para pemimpin itu bukan
sekedar pemimpin secara politik, melainkanjuga secara spiritual. Nabi
Muhammad SAW tidak hanya memimpin saat shalat sebagai imam, melainkan juga
seorang perwira sekaligus hakim, dan sebagainya.
Mulai dari Presidan,
Gubernur hingga para pembantunya, adalah pemimpin, mereka dijadikan
contoh bagi rakyatnya. Sikap para pemimpin dan pejabat negara merupakan
hukum, jika tidak sesuai dengan hukum dan nilai-nilai, maka harus dikenai
“hukum”, kondisinya kini terbalik. Hal semacam itu sudah berlaku di
negeri ini, kejatuhan moral dan etika sudah terjadi di seluruh dimensi,
seolah-olah kebudayaan telah tercerabut dari masyarakatnya, seringkali
religiusitas menjadi retorika untuk menyembunyikan keserakahan.
Bahwa manusia akan selalu berusaha
membuat hidupnya lebih baik, artinya manusia selalu membangun dirinya
sendiri, merubah sendiri nasibnya, melalui pembangunan, dan pembangunan harus
berlandaskan pada fitrah, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, makhluk
berbudaya, dan makhluk yang membutuhkan Tuhan (peribadatan). Hanya manusialah
makhluk yang mampu melakukan perubahan karena memiliki daya cipta,
ide/gagasan. Manusia yang tidak berbudaya adalah mansuia yang terlepas dari
sifat-sifat sosialnya, menjadi individualistis, hatinya akan dipenuhi
keserakahan dan permusuhan karena merasa terus kekurangan karena kesalahan
orientasi dalam menentukan cita-cita. Sangat banyak bangsa semacam ini dan
telah menjadi contoh dimana semula berjaya kemudian terjungkir oleh
keserakahan dan kedengkiannya sendiri, merasa paling berkuasa dan menjadi
sombong dengan kekuasaan dan kekayaanya, sudah banyak diceritakan dalam kitab-kitab
suci, babad, sejarah maupun dongeng dan legenda.
Kita pernah disuguhi kisah
Suråqåh, Qarun, Fir’aun, Malin Kundang, Dampu Awang, dan sebagainya. Oleh
karenanya, pembicaraan tentang seni bukanlah semata-mata sekedar membicarakan
hiburan, atau tentang ilmu seni itu sendiri, melainkan kita harus
memandangnya sebagai satu kesatuan kehidupan manusia, kehidupan yang didasari
nilai-nilai, yang membuahkan gagasan dan tercermin dalam perilaku. Gambaran
seperti apa gagasan dan laku manusia itu dapat mencerminkan nilai dan
kualitas manusia itu dalam suatu bangsa, sebagai indikator identitas bangsa,
apakah terlepas dari koridor etika serta nilai-nilai kemanusiwiannya atau
tidak. Memang berat jika kita memandang bahwa kegiatan “berkarya seni” jadi
terbebani oleh nilai-nilai kehidupan, ini dikarenakan karya seni adalah
manifestasi kehidupan itu sendiri, dan karya seni yang seperti inilah karya
yang orisinal, asli dan tidak terlepas dari kehidupan, sementara itu,
kualitas hidup manusia juga dapat dinilai berdasarkan sejauh mana peranannya
dalam masyarakat.
Sudah saatnya untuk memulai ke
arah sana, karena selama ini, baik kebijakan politik maupun ekonomi
yang seharusnya membawa kesejahteraan rakyat, justeru semakin menjauhi
rakyat, kesenjangan semakin lebar. Sudah saatnya kembali pada hati nurani.
Maka melalui buku ini, bukan hanya misteri pelog dan slendro saja yang akan
terungkap, baik dari segi sejarah, mitos, maupun ilmiah. Akan tetapi
hendaknya kita juga bisa mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang
melatar-belakanginya, memahami peradaban dan kebudayaan yang melandasi semua
produk-produknya, dan dengan demikian semoga kita mampu membuka mata dan
menyadari akan “siapa kita”, semoga dengan terungkapnya misteri ini tidak
membuat kita berbesar kepala pula, karena kebesaran yang kita punya merupakan
tanggung jawab besar pula.
Mengungkap rahasia pelog dan
slendro tidak lain berarti mengungkap rahasia musik tradisional. Musik
tradisional Indonesia yang “eksotik”, fenomenal dan historik adalah gamelan.
Perbincangan mengenai gamelan berikut sejarahnya, baik oleh orang Indonesia
sendiri maupun dari mancanegara, selalu dimulai dari pulau Jawa dan Bali.
Pengaruh gamelan sangat kuat bagi musik-musik tradisional di seluruh
Nusantara. Secara khusus, pelacakan asal-usul gamelan justeru membawa kita
menyusuri pulau Jawa, dan menariknya kita dituntun ke arah barat pulau Jawa,
yaitu Banten.
Persoalan mengapa pelog dan
slendro mesti membicarakan gamelan juga, hal ini karena pelog dan slendro
adalah tangga nada yang digunakan dalam gamelan. Di Jawa Barat gamelan
sering dikaitkan dengan sebutan “gamelan degung”, dan ada juga yang
menyebutnya “gamelan gending”, pada prinsipnya sama saja yaitu gamelan.
Perbedaan keduanya berdasarkan pemakaian di masyarakat suku bangsa yang berbeda,
tidak ada perbedaan secara prinsipil, namun sebagai pedoman, gamelan Jawa
dimainkan dengan tempo lambat, gamelan Sunda dimainkan dengan cepat,
sedangkan Bali dimainkan lebih cepat lagi serta penggunaan dinamika –keras
dan lunaknya nada dibunyikan- yang tajam.
Menurut catatan-catatan
moderen, pada awal keberadaannya, gamelan hanya digunakan di
keraton-keraton/istana kerajaan, permainan gamelan merupakan manifestasi atas
kekaguman dan rasa terimakasih kepada Yang Maha Kuasa, bunyinya merupakan
misteri, yang mampu membangkitkan rasa “agung”, “syahdu”. Pada
perkembangannya kemudian gamelan menjadi sarana hiburan, misalnya pada
penyelenggaraan pesta panen, pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Perubahan
ini ditandai dengan adanya perpindahan tangan kepemilikan gamelan dari para
bangsawan kepada masyarakat biasa. Ini terjadi pada era kolonial, seiring
dihapuskannya kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan, dimana pada
istana-istana yang memiliki gamelan, berpindah tangan pula. Sejak saat itu
pulalah dua kebudayaan Timur dan Barat bersentuhan, orang timur mengenal
biola, dan orang Barat mengenal gamelan.
Tetapi jauh sebelum itu, musik
yang merupakan produk kebudayaan dimana pemunculannya beriringan dengan
pemunculan suatu bangsa, telah tumbuh di berbagai tempat di dunia dan menjadi
bagian dari sejarah dan peradaban bangsa-bangsa di dunia. Sementara itu,
sejarah manusia berasal dari satu orang, yaitu Adam a.s., sebagaimana seluruh
agama samawi mengakuinya, demikian pula dalam berbagai mitologi di dunia, khususnya
pada masyarakat Baduy, mereka percaya bahwa manusia pertama adalah Adam,
meski kita mencurigai pemahaman itu atas dasar masuknya pengaruh agama Islam.
Kemajuan peradaban manusia dipicu
oleh munculnya gagasan-gagasan, gagasan tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman
yang biasanya muncul dari alam bawah sadar, dan mengingat-ingatnya berarti
mengingat pengalaman nenek moyangnya, demikian menurut Carl Jung. Artinya,
peradaban manusia berawal dari satu sumber, dan dengan demikian, ada satu
titik temu antara pembahasan asal-usul musik terkait dengan asal-usul manusia
oleh karena keduanya muncul hampir bersamaan. Cabang-cabang keturunan manusia
pertama itu mewariskan sifat-sifat nenek moyangnya, serta menemukan
metode-metode inovatif dari cara-cara sebelumnya. Demikian pula dalam seni
musik, di berbagai bangsa telah mengenal tangga nada pentatonik, baik pola
slendro maupun pelog, serta terdokumentasikan dalam bentuk alat musik
yang berbeda-beda pula sesuai dengan kondisi dan kekayaan alamnya masing-masing.
Di Afrika terkenal dengan Balafon, Marimba, kalimba, dan sebagainya, dan di
Yunani pada era pra Aristoxenus dan Pythagoras dikenal tangga nada anhemitonik
sebagai tangga nada tradisional mereka, dibuktikan pada alat musik lyra. Pada
era Pythagoras, anhemitonik berkembang menjadi diatonis
berdasarkan teori tetrachord 1 dan tetrachord 2 (Ammer,
2004:146).
Kemudian di era 1900an hingga
sekarang, musik telah menjadi industri yang menggiurkan, banyak bermunculan grup-grup
musik baik berupa band maupun grup vokalis, orkestra, lembaga-lembaga
pendidikan musik, dan tentu saja perusahaan rekaman. Tidak hanya itu, musik
menjadi sarana terapi, pendidikan, dan stimulan bagi pertumbuhan otak janin.
Aristoteles menyatakan bahwa “musik mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang
gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme.
2.
Pengertian
Musik
Jika kita memandang musik sebagai
ilmu, maka kita patut mempertanyakan apakah musik itu? Istilah musik jika
diambil dari bahasa Yunani adalah “Mousiké”, kemudian ditransformasikan
melalui bahasa Latin menjadi “Musica”. Istilah ini merujuk kepada “ilmu mengaransemen
melodi”, dalam bahasa Arab disebut “‘ilm al-musiqi” sebagai terjemahan
dari Yunani yang merujuk untuk musik secara teori, meskipun orang Arab
sendiri menyebutnya sebagai “’Ilm al-Ghinaa” yang telah
terangkum secara empiris pada kebudayaan Arab.
Secara teknis, musik dibangun oleh
beberapa unsur. Diantaranya adalah bunyi, yaitu getaran yang dapat ditangkap
oleh organ telinga manusia, yang selanjutnya disebut “nada”. Dave
Benson kemudian menyebutkan, musik itu adalah getaran udara, dan udara adalah
gas yang terdiri dari atom dan molekul, penambahan dan pengurangan tekanan
terhadap molekul inilah yang menyebabkan adanya perbedaan getaran (dan
diinterpretasikan sebagai bunyi, pen), dalam kondisi temperatur normal,
molekul udara bergerak atau bergetar dengan kecepatan 450 sampai dengan 500
meter per detik
Lantas, apakah dengan demikian
segala sesuatu yang berbunyi dapat dikatakan sebagai musik?
Untuk menjawabnya, mari kita
perhatikan unsur musik lainnya, yaitu durasi (note value, time), yaitu
waktu yang dihabiskan dalam membunyikan nada, atau maksudnya “seberapa lama
nada itu dibunyikan”. Ada nada yang dibunyikan sebentar, bahkan kurang dari
satu detik, ada yang lebih, bahkan ada yang lebih lama lagi.
Unsur lainnya adalah harmoni,
pembahasan mengenai hal ini sebenarnya berada pada tingkat polifonik,
termasuk pembahasan tingkat lanjutan, yaitu mengenai memainkan lebih dari
satu nada dalam waktu bersamaan. Misalnya pada piano, sementara jari jempol
membunyikan “do” jari tengah membunyikan “mi”. Antara nada mi dan do
dikatakan harmonis jika pasangan nada tersebut terdengar nyaman di telinga –
meski hal ini bersifat relatif, tergantung tingkat apresiasi pendengar,
seringkali seseorang tidak nyaman dengan harmoni tersebut, tetapi orang lain
merasa nyaman-.
Boleh dikatakan bahwa harmonisasi
adalah kesesuaian antara nada yang satu dengan yang lainnya. Lazimnya,
kesesuaian dimaksud mengacu pada serangkaian nada dalam satu “keluarga”,
yaitu antara nada yang satu dengan nada yang lainnya masih berada dalam
satu tangga nada yang sama. Selanjutnya paham ini mengalami
perkembangan dan aturannya semakin melebar. Baik melodi solo, duet,
trio, kwartet, dan seterusnya. Kesesuaian pemasangan nada ini
akan berpengaruh pada kenyamanan pendengaran, keadaan inilah yang dikatakan
harmonis. Sebaliknya, pemasangan nada yang tidak sesuai berpengaruh
pada ketidaknyamanan pendengaran (dissonant). Tetapi pada akhirnya hal
tersebut tergantung pada bagaimana musisi menginginkannya, toh pada
perkembangan selanjutnya, nada-nada dissonant[5] telah digunakan juga sejak era
musik klasik terutama pada komposisi-komposisi Frederick Chopin hingga pada
era jazz. Pada masa ini nada-nada dissonant begitu banyak digunakan sehingga
menjadi ciri khas, akhirnya pada masa kini istilah dissonant jarang
digunakan.
Dari sini penulis berpendapat
bahwa pembicaraan musik harus dimulai dari tataran teknis, penulis memandang
bahwa secara teknis, unsur utama dalam dunia musik adalah nada. Telah
dikatakan bahwa nada adalah bunyi, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh getaran
suatu benda, resonansi yang dihasilkan menimbulkan efek suasana pada hati seperti
dikatakan Aristoteles.
Seorang musisi, secara teknis akan
memahami perihal tangga nada beserta intervalnya. Musisi yang sudah terkenal
sekalipun, akan mengacu pada aturan ini. Oleh karena itu, nada perlu
dibicarakan sebagai peletak dasar pembahasan ini, meskipun agak masuk ke
dalam tataran teknis, penulis akan berusaha menyampaikannya secara sederhana
dan tuntas.
Selanjutnya, penulis akan membahas
di seputar musik pentatonis, yang berarti akan berbicara dua hal, yaitu
pentatonis dengan pola pelog dan pentatonis dengan pola slendro.
Juga akan membicarakan alat-alat musik yang menggunakan tangga nada
pentatonis, selndro maupun pelog terkait penggunaannya di masyarakat. Tentu
saja akan membahas pula tentang jenis-jenis kesenian yang berada di wilayah
Banten serta keterkaitannya dengan alat musik dan tangga nada yang mereka
gunakan.
Pembahasan sejarah musik
pentatonis, baik dari segi nada, maupun alat musiknya, keterkaitan peradaban
manusia dengan musik yang diproduksinya, telah banyak dibicarakan. Secara
umum dinyatakan bahwa kemunculan musik bersamaan dengan kemunculan makhluk
yang bernama manusia. Hal ini tentu akan berbicara juga di seputar
timbul-tenggelamnya suatu peradaban, berdasarkan literatur, bukti-bukti
sejarah baik dalam karya sastra lisan, tekstual, maupun artefak.
Dari sini, penulis mencoba membuka
wacana baru, bahwa keterkaitan sejarah musik pentatonik dengan sejarah
peradaban manusia sangat erat, sehingga bisa diasumsikan bahwa musik
penatonik berasal dari suatu tempat yang terpusat, lalu menyebar ke seluruh
belahan bumi menjadi musik tradisional di negeri-negeri lain di dunia, yang
pada akhirnya berkembang menjadi musik klasik, dan menjadi musik moderen
seperti yang kita nikmati sekarang.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar